Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam tambang dan hutan di Provinsi Papua mengalami tumpang tindih kewenangan. Hal itu berdampak pada timbulnya kemiskinan struktural dan marjinalisasi masyarakat adat pemilik hak ulayat yang dibuktikan dengan angka-angka dari badan pusat Statistik dengan menempatkan Provinsi Papua sebagai daerah penghasil emas terbesar di dunia, tetapi merupakan Provinsi termiskin dengan tingkat indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia.
Pengelolaan sumber daya alam tambang dan hutan di Provinsi Papua belum berjalan optimal. Hal ini berakibat pada tidak optimalnya pelaksanaan pembangunan dan tidak optimalnya alih teknologi. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya ketergantungan pada pi hak asing dalam pengelolaan sumber daya alam tambang dan hutan yang dimiliki bangsa Indonesia dan masyarakat hukum adat.
Keharmonisan Undang-undang sebagai agen of social changes dan hukum sebagai instrumen selama ini terabaikan, termasuk dalam konteks membentuk hukum yang baru. Desain regulasi tentang hak-hak masyarakat hukum adat diakui dilindungi dan dihormati dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam tambang dan hutan sebagai alternatif penyelesaian konflik pertambangan dan kehutanan di Provinsi Papua. Hal ini merupakan upaya dan pemikiran penulis tentang keharmonisasian peraturan pengelolaan sumber daya alam tambang dan hutan untuk masyarakat adat di daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua.