Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan menjadi bahan diskursus di kalangan ahli hukum. Mengingat eksistensinya yang di satu sisi sebagai lembaga penegak hukum, tetapi di sisi lain, Kejaksaan berada di ranah kekuasaan eksekutif. Dalam konteks konstitusi dan ketatanegaraan, keberadaan Kejaksaan hanya disebutkan secara implisit dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”. Frase ini dianggap sebagai rujukan konstitusioal pembentukan Kejaksaan.
Dalam rangka menjamin kemandirian pelaksanaan fungsi penuntutan dan kewenangan strategis Kejaksaan lainnya sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian, dan berkemanfaatan bagi bangsa dan negara, maka ke depan kedudukan Kejaksaan dipandang penting untuk dikuatkan dalam konstitusi negara Republik Indonesia sama seperti 35 (tiga puluh lima) lembaga lainnya, termasuk Kepolisian (fungsi penyidikan) dan Mahkamah Agung (fungsi peradilan), yang secara tegas diatur dan dicantumkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, secara kelembagaan, perlu dilakukan pembahasan dan pengkajian terus-menerus untuk memperkuat institusi penegak hukum ini, sehingga ke depan, Kejaksaan secara institusional semakin independen, kemandirian dan imparsialitasnya terjaga, terutama dalam menghadapi tekanan politik. Selain itu, dalam konteks criminal justice system, diperlukan juga upaya untuk tetap menempatkan kewenangan penuntutan kepada Jaksa dimana Kejaksaan tetap menjadi satu-satunya institusi yang melakukan penuntutan dalam penegakan hukum di negara Indonesia.
Buku ini hadir sebagai upaya untuk mengukuhkan imparsialitas kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Para penulis adalah akademisi yang mumpuni di bidangnya, sehingga argumentasi dan gagasan yang diketengahkan dalam buku ini sangat membantu untuk memahami eksistensi Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.